Jika identitas OMS menjadi langkah awal mengembangkan inovasi pendanaan mandiri, maka orientasi usaha menjadi tahapan penentu keberhasilan OMS menjalankan lini usaha sosial.
Melanjutkan dari artikel sebelumnya yang membahas identitas “indie ‘money’ scene” organisasi masyarakat sipil (OMS) melalui lini usaha sosial, di artikel ini akan membahas beberapa komponen orientasi usaha yang menentukan keberhasilan OMS mentransformasikan strategi independensi finansial dengan praktik usaha sosial.
Lumpkin et al. (2013) berpendapat bahwa terdapat 5 orientasi usaha dalam praktik kewirausahaan sosial. Ini akan dipaparkan menggunakan pendekatan praktik usaha sosial di Indonesia dari kajian yang Tim Re.Search telah buat, tepatnya pada bahasan Pola Pikir Kewirausahaan: Memecahkan Masalah Secara Menguntungkan dan Kesalahan Umum saat Menskalakan SE (Usaha Sosial). Orientasi usaha ini singkatnya merupakan sikap penentu keberhasilan OMS dalam menjalankan usaha sosial sebagai upaya diversifikasi lanskap finansial, sehingga di bawah ini merupakan sikap utama yang OMS dapat implementasikan, yaitu:
Akrab dengan inovasi
Saat OMS ingin mentransformasikan pendanaan mereka melalui praktik usaha sosial, maka perlu kecenderungan kreativitas, keinginan belajar, serta minat mencoba hal baru. Eksperimen terhadap produk dan layanan yang mau dipasarkan menjadi sebuah keharusan; dari memastikan bahwa produk sejalan dengan nilai, visi, dan misi awal OMS terbentuk, skala profitabilitas, hingga memastikan umpan balik dari pelanggan sebagai salah satu bentuk pendorong inovasi.
Inovasi hadir karena ada setidaknya satu kekurangan dari produk yang sudah ada, sehingga, kemampuan menerima umpan balik dari pelanggan dan mentransformasikan itu dalam menjadikan produk dan layanan yang lebih baik dapat meningkatkan skala usaha sosial.
Insting Proaktif
Proaktif merupakan kemampuan melihat peluang dalam skala jangka panjang. OMS dapat melakukan ini tidak hanya dengan inovasi produk, tapi juga menjadi pereka cipta produk baru jauh sebelum adanya kompetisi dan kompetitor sebagai upaya antisipasi kebutuhan di masa depan.
Pengambilan Resiko
Venturing into unknown, atau menjalajah ke entah berantah, merupakan sikap yang OMS dapat lakukan untuk menemukan banyak peluang-peluang baru yang nantinya dapat diimplementasikan dalam praktik usaha sosial. Secara konsep ini dikenal sebagai blue ocean strategy yaitu teori marketing yang dikembangkan oleh dua profesor di INSEAD (Kim & Mauborgne, 2015).
Teori strategi ini menekankan pentingnya langkah strategis yang menciptakan lompatan nilai bagi perusahaan—dalam konteks ini bisa menjadi OMS yang menjalankan lini usaha sosial—dengan membuka potensi kebutuhan baru dan memastikan dengan pendekatan ini bahwa kompetisi menjadi tidak relevan. Implementasi dari teori ini adalah kerangka analitis dan alat untuk mengembangkan kemampuan organisasi secara sistematis membuat dan menuju ke “lautan biru” (baca: blue ocean) yaitu sebagai area pasar baru yang belum tereksplorasi.
Jika takut dengan pendekatan “go big or go home” a la blue ocean yang terasa seperti mempertaruhkan segalanya, maka OMS pun dapat mengarungi “lautan ungu” atau purple ocean strategy. Karena secara pragmatis, OMS yang ingin menjalankan usaha sosial sebagai salah satu sumber pendanaan tetap harus memastikan bahwa pendekatan ini mendatangkan keuntungan. Maka, sikap OMS saat mengambil resiko jangka panjang haruslah sistematis karena profitabilitas tetap penting, sehingga berhemat dalam mengelola pendanaan dalam lini bisnis memberikan ruang luas bagi OMS untuk perlahan mengeksplorasi area baru untuk uji coba pengambilan resiko.
Agresif dalam Berkompetisi
Meskipun pada tiga sikap sebelumnya menekankan inovasi dan mengambil resiko dengan eksplorasi hal baru, tetap saja blue ocean sangat mungkin menjadi red ocean nantinya. Sehingga jika keadaan ini terjadi, OMS harus mampu bersikap agresif untuk meningkatkan usaha dan upaya lini usaha sosial mereka dalam mengungguli kompetitor usaha. Salah satu upaya agresif dalam berkompetisi yang tidak dalam implikasi negatif adalah dengan berkolaborasi; ini adalah salah satu upaya yang tidak akan merugikan pihak manapun tapi OMS tetap mampu berkompetisi.
Otonomi
Lini usaha sosial milik OMS merupakan salah satu ‘produk’ dari OMS yang sama pentingnya dengan produk inti dari OMS itu sendiri. Maka praktik usaha sosial tidak bisa menjadi aktivitas sampingan. Sikap otonomi dalam usaha sosial ini dapat OMS praktikan dengan memastikan berjalannya usaha sosial dari awal hingga akhir, dari penyusunan konsep bisnis hingga selesai.
Otonomi ini berarti keadaan independen dalam menentukan tindakan, ini secara implementasi dapat berarti sebagai efisiensi penciptaan sistem. Misal dengan membuat SOP sejak awal, membangun sistem sebelum membutuhkan, memastikan peran dan fungsi SDM serta memperhitungkan kemungkinan salah satu dari karyawan mengundurkan diri, membuat ulasan kinerja SDM secara berkala, dan berinvestasi pada software yang tepat.
Kelima sikap ini pada akhirnya bekerja secara bertautan dengan komponen-komponen lainnya, seperti identitas awal yang perlu OMS miliki serta capaian dan dampak yang OMS raih setelah berjalannya lini usaha sosial mereka sebagai salah satu sumber pendanaan independen.
Referensi:
Lumpkin, G. T., Moss, T. W., Gras, D. M., Kato, S., & Amezcua, A. S. (2013). “Entrepreneurial processes in social contexts: how are they different, if at all?”. Small Business Economics, 40, 761-783. https://doi.org/10.1007/s11187-011-9399-3
Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2015). “Blue ocean strategy, expanded edition: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant”. Harvard business review Press.