Hari Cintai Kulitmu Nasional yang dirayakan setiap 8 Juli menjadi momentum penting bagi kita untuk lebih peduli terhadap kesehatan kulit. Di balik peringatan ini, ada organisasi yang telah bekerja keras untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta, yaitu PerMaTa (Perhimpunan Mandiri Kusta). PerMaTa merupakan organisasi yang terdiri dari orang-orang yang mengalami dan menyintas kusta. Re.Search berbicara dengan Al Kadri, Ketua Nasional PerMaTa, untuk lebih mengenal perjuangan dan tujuan dari organisasi ini.
PerMaTa: Sebuah Organisasi Pendukung Penderita dan Penyintas Kusta
PerMaTa, singkatan dari Perhimpunan Mandiri Kusta, adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk orang yang mengalami kusta. PerMaTa memiliki visi untuk membebaskan penderita kusta dari stigma dan diskriminasi, sehingga mereka dapat hidup dan bersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat.
PerMaTa bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa kusta bukanlah kutukan, melainkan penyakit yang dapat diobati. Selain itu, organisasi ini juga berusaha menguatkan kapasitas para penyintas kusta, agar mereka bisa hidup bermartabat dan berdaya di tengah masyarakat.
Perjuangan PerMaTa Menghapus Stigma
PerMaTa terus berupaya mengajak dan melibatkan anak muda yang pernah mengalami kusta. "Kami menguatkan kapasitas mereka agar mereka mampu bersosialisasi dan menjadi agen perubahan," kata Alkadri. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui gerakan dukungan sebaya, di mana para penyintas muda mendekati sesama penyintas untuk saling berbagi pengalaman dan dukungan.
PerMaTa aktif mengedukasi masyarakat dan memperkuat kapasitas penderita kusta melalui berbagai program. Anak-anak muda ini kemudian pergi ke kelompok masyarakat, sekolah, dan tempat ibadah untuk memberikan testimoni tentang pengalaman mereka. Alkadri menekankan pentingnya peran penderita kusta sendiri dalam menghapus stigma, karena mereka yang paling memahami dan merasakan dampaknya.
Selain itu, PerMaTa juga aktif bekerja sama dengan berbagai organisasi eksternal untuk memperluas dampaknya. Kolaborasi ini mencakup kerjasama dengan organisasi akar rumput hingga lembaga internasional yang mendukung perjuangan mereka.
PerMaTa didirikan sebagai tanggapan terhadap masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta di Indonesia. Al Kadri menjelaskan, meskipun Indonesia telah mencanangkan eliminasi kusta sejak tahun 2016, kenyataannya masih banyak tantangan yang harus dihadapi. "Stigma dan diskriminasi masih sangat kuat, dan pemahaman masyarakat tentang penyakit ini sangat minim," katanya.
Menurut Alkadri, Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah penyintas kusta terbanyak di Indonesia, meskipun provinsi ini telah dinyatakan eliminasi kusta. Sulawesi Selatan menyusul sebagai penyumbang kasus kusta terbanyak keempat di Indonesia. "Belum ada daerah di Indonesia yang benar-benar terbebas dari penyakit kusta," ungkapnya.
Stigma yang Dihadapi Penderita Kusta
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh PerMaTa adalah mengubah pemahaman masyarakat yang keliru tentang kusta. "Mayoritas masyarakat masih menganggap kusta sebagai penyakit kutukan atau penyakit yang sangat menular," jelas Alkadri. Misinterpretasi ini seringkali diperparah oleh ajaran agama dan budaya yang sudah lama tertanam dalam masyarakat.
Di Sulawesi Selatan, misalnya, penyakit kusta sering dijadikan sebagai sumpah untuk menghindari tuduhan. "Perilaku seperti ini sangat menghambat perjuangan kami," tambahnya.
Tantangan yang dihadapi PerMaTa tidak hanya datang dari eksternal, seperti stigma masyarakat, tetapi juga dari internal. Kepercayaan diri dan kemauan untuk berjuang seringkali menjadi hambatan bagi penderita kusta. PerMaTa mengatasi ini dengan mendorong teman-teman yang sudah berhasil menerima diri mereka dan mampu bersosialisasi untuk mendekati dan memotivasi teman-teman lain.
Pesan PerMaTa di Hari Cintai Kulitmu Nasional
Di Hari Cintai Kulitmu Nasional, Al Kadri menyampaikan pesan penting: "Cintai kulit Anda, karena kulit adalah organ terbesar dan sangat vital untuk melindungi tubuh." Ia juga menekankan pentingnya segera memeriksakan diri ke layanan kesehatan jika ada kelainan pada kulit, agar penyakit seperti kusta dapat segera didiagnosis dan diobati sedini mungkin.
Al Kadri berbagi pengalamannya sendiri, yang pertama kali mengalami bercak kusta pada usia enam tahun namun baru mengalami cacat sebelas tahun kemudian karena tidak segera berobat. Ia menekankan bahwa tanda awal kusta seringkali tidak mengganggu, sehingga banyak orang yang mengabaikannya. Namun, jika dibiarkan, kusta dapat menyebabkan disabilitas permanen.
Dalam momen Hari Cintai Kulitmu Nasional ini, Al Kadri berharap masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan kulit dan segera memeriksakan diri ke layanan kesehatan jika menemukan kelainan pada kulit. "Penyakit kusta adalah penyakit yang sangat simpel dan tidak mudah menular, tetapi jika dibiarkan, dapat berakibat fatal," tegas Alkadri.
Perjuangan PerMaTa dalam menghapus stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta masih panjang. Namun, dengan semangat dan kerja keras, A Kadri yakin bahwa suatu hari nanti, semua penderita kusta di Indonesia dapat hidup dengan bermartabat tanpa harus menghadapi stigma dan diskriminasi. Mari kita dukung perjuangan ini dan cintai kulit kita, karena kulit yang sehat adalah cerminan dari tubuh yang sehat.